Metroterkini.com - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Hanteru Sitorus menyoroti masalah kelangkaan minyak goreng yang belum terselesaikan hingga saat ini. Menurut dia, belum ada solusi kongkret dari pemerintah terkait permasalahan ini.
"Saya belum melihat penyelesaian yang komprehensif terhadap permasalahan ini, sepertinya jalan di tempat," kata Deddy dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/3/2021).
Menurut Deddy, saat ini kelangkaan minyak goreng masih terus berlanjut di berbagai daerah dan bahkan di Jakarta. Sementara harga di pasaran, masih jauh dari Harge Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan.
"Saya justru melihat bahwa industri ini rusak parah, rantai pasoknya dari hulu hingga hilirnya sudah bermasalah. Rantai pasok itu mulai dari pekebun sawit, produsen CPO, pabrik minyak goreng, distributor, agen, hingga pedagang, sudah tidak saling nyambung. Semua pihak dirugikan. Jadi tidak hanya rakyat yang kesulitan mendapatkan barang, tetapi harganya pun sangat mahal," kata Deddy.
Legislator dari PDI-P itu mengaku mendapat laporan terkait produsen CPO yang mengeluh karena tidak ada jaminan bisa melakukan ekspor. Padahal mereka mengaku sudah memenuhi persyaratan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak goreng.
Sementara itu, di sisi produsen minyak goreng, mayoritas merasa masih kesulitan mendapatkan bahan baku. Padahal jika dilihat struktur industrinya, dari sekitar 400 pabrik minyak goreng yang ada, hampir 51 persen dari total produksi dikuasai oleh hanya 4-5 perusahaan. Artinya, sebenarnya mudah sekali untuk mengetahui sebaran hasil produksi minyak goreng dari pabrik-pabrik itu.
"Saya menerima keluhan dari banyak pengusaha sawit, baik domestik maupun PMA. Mereka bingung dengan berbagai ketidakjelasan aturan yang ada, dan ini sangat merugikan mereka," ungkapnya.
Dia menuturkan, kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri hanya sekitar 10 persen dari total produksi CPO nasional yang mencapai di atas 49 juta ton per tahun.
"Kita hanya butuh sedikit di atas 5 juta ton per tahun untuk minyak goreng, tetapi pasokan minyak tetap tidak bisa terpenuhi. Bahkan bila ditambahkan dengan kebutuhan CPO untuk program B30 yang mencapai sekitar 9 juta ton, produksi kita masih sangat aman. Jika pun pengusaha dan eksportir CPO dikenakan kewajiban DMO 30 persen, mereka tetap akan untung karena harga internasional masih sangat tinggi mencapai Rp.15.000/kg," ucap dia.
Oleh karena itu dirinya berharap agar Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian ESDM segera duduk bersama dengan para stakeholder terkait dan para pelaku industri.
Menurut dia, semua pihak harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah kelangkaan minyak goreng ini. Terlebih akan segera memasuki Ramadhan yang tentunya akan meningkatkan konsumsi.
"Persoalan ini sudah terlalu lama tidak terselesaikan, sungguh memalukan. Sengkarut (minyak goreng) ini merugikan semua pihak, mulai dari hulu hingga ke hilir, konsumen dan bahkan negara secara tidak langsung juga dirugikan," ungkap Deddy.
Deddy pun sangat berharap agar Kementerian Perdagangan memberikan kepastian solusi terhadap permasalahan ini. Dia menilai Kemendag tidak boleh bermain aman. Sebab, terkuncinya ekspor CPO itu tidak hanya merugikan pengusaha sawit, tetapi juga merugikan penerimaan negara. Ketiadaan minyak goreng juga merugikan pedagang dan pelaku ekonomi, baik yang besar, menengah maupun yang kecil.
"Saya meminta Kemendag dan Menteri Perdagangan buka-bukaan, apa masalahnya hingga hampir 3 bulan lebih kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi. Seberapa efektif kebijakan DMP, DPO, HET dan pelarangan ekspor dalam memulihkan struktur produksi dan perdagangan komoditas ini? Apakah benar-benar tidak ada cara yang efektif dan sistemik untuk mengurangi benang kusut yang ada? Sampai kapan masalah ini akan teratasi, ini harus dijawab oleh Kementerian Perdagangan," pungkas Deddy. [**]